15/10/2010

Bangsat Demokrasi


BANGSAT DEMOKRASI
Oleh : anunkaseppasundan
Aku berdiri menyaksikan wajah-wajah garang menghiasi kursi-kursi dewan atau kekuasanan lainya, garang bukan dalam arti sesungguhnya, garang disini lebih bersifat wajah garang yang dalam artian bahwa mereka sangat berambisi dan haus untuk selalu duduk di atas kursi empuk, memang siapapun yang sudah terlena akan nikmatnya menjadi seorang penguasa paling tidak ke alfaan itu ada, apalagi jika yang terpilih adalah orang-orang pintar dalam hal tender proyek bukan sesuatu yang mustahil jika tanda tangan untuk sebuah bukti pun tak masalah yang penting amplop sudah di tangan.

Ketika satu masa kekuasaan jatuh pada satu manusia yang lebih mementingkan selembar amplop ketimbang sebuah amanah di ujung jari, maka yang terjadi adalah perampokan akan kepercayaan dan maling-maling demokrasi siap berkhianat terhadap konstitusi yang sudah menjadi tempat berteduh bagi rakyat, demokrasi memang mempersilahkan siapapun untuk bisa duduk di atas kekuasaan,  tetapi ketika demokrasi itu salah memilih penguasa maka yang terjadi adalah hilangnya kepercayaan yang di awali dengan sebuah peraturan yang memetingkan pribadi ketimbang kepentingan hajat hidup orang banyak.


Kekuasaan yang di salah gunakan lambat laun akan membunuh kewajaran, peraturan-peraturan akan di buat sedemikian rupa demi sebuah kalimat tentang “kelanggeungan” dan hajat hidup orang banyak bukan lagi sebuah prioritas untuk di nomor satukan tetapi yang terjadi adalah bahwa kepentingan pribadi adalah dewa terhebat yang membahagiakan diri sendiri dan golongannya. Banyak sudah sejarah kelam dalam republik ini ketika satu pemimpin menjadi seorang diktator maka kepentingan pribadi menjadi sebuah primadona yang tak boleh di lewatkan, dan dalam kasus seperrti ini Negara seolah memelihara bangsat demokrasi atas nama kepemimpinan walaupun yang sedang memimpin adalah tikus tengik yang menggerogoti kepercayaan rakyat, memang demokrasi adalah pilihan terbaik ketimbang sebuah monarki, tetapi ketika rakyat tidak jeli memilih seorang calon pemimpin darimana  dan bagaimana waktaknya, bersiaplah bahwa peluang untuk mendapatan seorang bangsat demokrasi sangat terbuka lebar, demokrasi bukan memilih kucing dalam karung demokrasi adalah penyampai amanah dari rakyat yang berharap akan adanya sebuah perubahan bukan sebuah kemelaratan.

Demokrasi bukan tempat mencari garong kekusasan, demokrasi bukan tempat untuk mencari orang-orang bejad yang akan duduk di kursi kekuasan, dan dalam sejarahnya demokrasi sedikitpun tidak mempersilahkan maling-maling pengambil kepercayaan rakyat untuk duduk berleha-leha ketika rakyat yang di bawah menderita, tetapi demokrasi menempatkan dan mecari orang-orang yang mau dan rela berkorban untuk kepentingan dan kemaslahatan rakyat banyak bukan golongan atau individu yang menjadi kepantasanya!!!


By : daripenulisuntukberbagi...

13/10/2010

Cecunguk Urban & Urbanisasi

KAUM URBAN DAN CECUNGUK KOTA
Oleh : anunkaseppasundan

Aku pernah datang ke kota ini lebih dari 20 tahun yang lalu, namun aku baru merasakan bahwa aku bisa tinggal hinggá beberapa waktu lama setelah 2 tahun ini. Bagiku Jakarta adalah garda terdepan dari bangsa ini untuk menampilkan diri di mata dunia bahwa indonesia punya kebanggan akan Ibukotanya. 

Jakarta adalah magnet terkuat yang menarik lebih dari sejuta mata untuk datang dan berharap akan sesuatu yang lebih baik. Jakarta seperti kota fenomena yang meng-sugesti setiap mata untuk turut serta hadir di dalamnya, Jakarta adalah ibarat emas yang menggunung yang menjajikan kekayaan dan sarat akan kekuasan, Jakarta adalah umpan terhebat bagi kaum urban yang berambisi meraih mimpi, Jakarta menjadi pemicu dari sekian puluh juta pasang mata untuk membuat sebuah rekayasa akan urbanisasi yang tidak di kehedanki. Dan semakin banyaknya dan tak terkedalinya akan urbanisasi ini menjadi corong gelembung bumerang akan reputasi sang gubernur untuk menata dan mengelola.

Namun semakin aku merasakan dimana aku tinggal, kenyaman dan kebangganku terhadap Ibukota semakin menipis walau kusadari bahwa sesungguhya aku bukanlah pednduduk asli atau bahkan lahir di Ibukota ini. Hilangnya kenyamanan akan kebangganku terhadap Jakarta dan setatusku sebagai kaum urban seolah kian menipiskan rasa semangatku untuk bisa merasakan sebagai perantau sejati seolah hilang tanpa kesan.

Kerakusan, ketamakan, dan kecokakan yang selama ini ada di benak para kaum borjuis yang mengekploitasi Jakarta, kini berbalik menjadi sebuah dilema yang tak berkesudahan, keindahan yang di gemborkan lewat pembangunan mall – mall besar, hotel – hotel berbintang dan gedung – gedung pencakar langit, dan pembangunan hutan kecil yang tak se-alami ternyata tak cukup menghilagkan panas dan berasapnya kota Jakarta, keadaan yang di buat sedemikian rupa hanya untuk mengejarkan keuntungan sesaat lewat pembangunan yang terus berlangsung tanpa memperhatikan kebutuhan bumi Jakarta itu sendiri akhirnya menjadi sebuah keniscayaan bahwa malapetaka akan kerusakan alam itu semakin nyata terasa, bajir, gempa, dan maraknya pendirian rumah – rumah kumuh, eksploitasi kemiskinan yang di tampilkan di jalanan semakin banyak, dan amblasnya beberapa daerah di sebagian Jakarta akibat erosi dan abrasi, hilangnya lahan resapan, dan karena kurangnya pengolaan sanitasi dan kurangnya perhatian akan keadaan air dan lingkungn di Jakarta semakin memperparah kedaan ini, tentunya keadaan ini menjadi rasa panik yang berlebihan bagi mereka kaum borjuis yang punya segudang kemewahan mall – mall besar, hotel berbintang dan gedung pencakar langit menjulang tinggi, dan kepanikan juga menyerang mereka para aparat birokrat seolah ketakutakan akan adanya kesan ketidak becusan dalam menjalankan dan megolala Jakarta semakin nampak.

Mata silih berganti memandangan gedung pencakar langit yang sulit didapatkan dari tempatnya berasal, dan hilir mudik kaum urban tak henti – henti membawa kisah antara manis dan pahit, cerita sukses beberapa pasang mata seolah menjadi pemicu kenapa mata yang lain ingin melirik untuk menyambangi, dan cerita pilu akan kerasnya kehidupan kota Jakarta menjadi anggapan seperti asap yang akan hilang dan berlalu. Padahal sesunggunya banyak kisah lebih pilu dan mengerikan dimana bisa saja yang kaya menjadi seorang pembunuh berdarah dingin ketika kemewahan yang dimikinya hilang dengan sekejap, karena di Jakarta ini banyak penjudi yang menggadaikan harga diri untuk mimpi yang belum pasti. dan di Ibukota ini menjadikan hal yang tak mungkin menjadi mungkin adalah hal yang lumrah, bagaimana tidak seorang gelandangan bisa menjadi seorang konglomerat jika ia mampu bertahan dan berusaha meraih mimpinya dengan kesabaran dan keuletan dalam bekerja, tinggal dimana posisi simiskin ini berusaha dan memilih apakah di jalan yang halal ataukah haram.

Aku sendiri memandangan bahwa Jakarta adalah etalase utama penyampai tentang bagaimana Indonesia di mata dunia, jika kesemrautan lebih besar maka tak lebih ia seperti kaca pecah yang tak terurus dan tikus kecoa seperti mall – mall, hotel berbintang dan gedung – gedung pencakar langit tinggi menjulang yang tak memperhatikan tata letak menjadi kotoran dalam keindahan sesaat, jika keadaan seperti ini terus dipelihara akan menjadi duri dalam daging dan cukup malukah dan  miriskah kita melihat bagaimana ketika mata dari negeri lain seolah sungkan untuk berinvestasi dan membeli, ”pikiran mereka jangankan ingin mampir, untuk melewati saja rasa – rasanya sungkan”. 

Jakarta akan menjadi kota yang percuma menjadi Ibukota saat keadaan yang semraut dan kemacetan merajalela dibiarkan tanpa ada solusi yang terbaik. Dan kesenjangan yang menguasai akan menjadi pamantik yang meledakan jumlah angka antara kehidupan simiskin dan sikaya. Dan budaya krinminalitas akan menjadi kultur yang tertecipta tanpa kesengajaan.

Bukan salah Jakarta sesunggunya tetapi kesalahan yang sesungguhnya adalah mata di dalamnya yang mengurus dan mengelola, Jakarta tetaplah indah baik dari nama dan ke Ibukotaannya, yang buruk adalah mata yang mengurus dan tak becus sehingga membuat kesan bahwa Jakarta adalah kota indah di atas kesemrautan yang menggila.  Mata – mata dari kaum urban akan terus berlangsung selama mata di dalamnya yang mengurus Jakarta tidak memberikan rekomendasi bagaimana dan dimana seharusnya para investor itu menanamakan modalnya, ke rakusan di benak para mata di dalamnya akan stigma bahwa Jakarta harus menjadi kota segala – galanya menjadi biang dimana adanya kaum urban itu terus bertambah. Jika sudah seperti itu siapakah yang salah kaum urban ataukah mata pengelola Jakarta?”” heum....


By : daripenulisuntukberbagi...

Manusia Linglung

JALAN BERLIKU UNTUK PRESIDENKU
Oleh : anunkaseppasundan

Diantara jalan yang panjang membentang, Indonesia sedang melewati sebuah jalan teramat berliku, dan terlihat bombastis saat satu isu melangkah menjadi seribu masalah yang kian mendera. Seperti gerimis yang tetes demi tetes, problematika dan corat marutnya tata pengelolaan masalah semakin menambah daftar panjang begitu negeri ini teramat sukar untuk di katakan sebagai negeri adem ayeum.

Keterpurukan negeri ini semakin nyata saat sang pemimpin tak lagi mempunyai hak legitimasi terhadap kewibawaannya, penghinaan, pengejekan, pe “ngeyelan” dari negeri sebrang di ujung sana, seolah hanya di anggap hal kecil yang tiada berarti. Sadar atau tidak sebenarnya bagi kami rakyat kecil hal seperti itu adalah perusakan kedaulatan akan kewibawaan pemimpin bangsa. Dan perusakan kedaulatan akan harga diri bangsa. Dimana rakyat tidak menginginkan pemimpinnya menjadi subjek perumpamaan dari hal yang konyol dan terkesan rendah. Namun tetap saja rasa tak peduli itu muncul dari diri sang pemimpin untuk menanggapi dengan keras hinaan dan plecehan tersebut, jika sudah seperti  ini. sesunggunya ke angkuhan dan kesombongan tersebut bukanlah milik Negeri yang di seberang sana tetapi milik sang pemimpin kita yang tak peduli dan tak mau mendengarkan akan emosi rakyatnya karena melihat dia, "pempimpinnya dan kedaulatan negaranya "menjadi objek cacian dan hinaan. 

Akhirnya anggapan akan kesimpulan terhadap sang pemimpin itupun muncul seperti aku dan sebagian rakyat lainya mengatakan “bagaimana mau peduli terhadap teriakan rakyatnya jika dalam dirinya saja di hina, ia acuh tak acuh untuk menanggapi”.

Jalan memang masih panjang, dan Indonesia butuh proses adaftasi akan kewibawaan bagaimana  Negara ini bisa lebih di hormati dan di segani di dataran Asia Tenggara atau bahkan level Internasional akan segala sistem dan kepemimpinannya. Namun jika di tengah perjalan setiap hinaan dan ejekan itu dianggap hal yang basi bukan tidak mungkin Negara kita akan tertahan dan terombang-ambing dalam kebingungan untuk menanggapi, karena tidak adanya ketegasan dari sang pemimpin untuk menyelesaikan hinaan tersebut, dan bukan tidak mungkin lagi jika kelembekan dan rasa ragu dan rasa seolah kita bergantung akan Negara penghina tersebut bisa menjadi batu sandungan untuk membangun kredibilitas dan kewibawaan, dan tentunya setiap plecehan akan terus berulang dan berulang. Karenanya jangankan untuk berperang menggertak saja sudah tidak berani, maka tak heran jika Negeri seberang di ujung sana ibarat anak kecil yang tak mengerti dan dengan kengeyelanya akan terus berulah.

Setiap kali berpidato dengan kegagahanya dan tuturkatanya yang teratur. Dan dengan kewibawaanya di mata para bawahnya ia sesekali menguraikan pentingnya menjaga sebuah eksistensi keutuhan NKRI. Dan NKRI adalah harga mati. Pertanyaanya, bagaimana mungkin kita bisa menjaga keutuhan akan kedaulatan jika di dalam diri sang pemimpin saja tak bisa melawan akan hinaan dan ejekn tersebut. Bila keadaan seperti ini terus di pelihara maka tak ubahnya persidangan demi persidangan, dan pidato demi pidato seperti ini adalah ritual pamer kewibawaan.


Ketika satu satu isu menjadi sesuatu yang ramai di perbicangkan, dan ketika isu itu pula membuat gerah para pemimpin yang cenderum ragu dan banyak pertimbangan, maka jawabanya adalah meredam, agar gejolak yang ada di harapkan tidak mengusik lagi, jawaban untuk meredam bukanlah sebuah gertakan tetapi dengan menonjolkan sebuah simbol kenegaraan yang berbau kemiliteran, walaupun sesunggunya bahwa antara tempat yang dipilih dengan isu yang akan di jawab sungguh berbeda jauh dan jauh dari yang di harapkan. ke adaan seperti ini tak lain adalah cara berpikir yang membingungkan, kalau sekiranya momentum untuk menjawab sebuah isu yang krusial namun hanya sebatas pidato yang datar-datar saja alias normatif lebih baik berpidatolah di rumah bukan di barak militer yang konotasinya terkesan menggelorakan perang.


(Editan belum sempurna)