PERANG SALIB
Adalah gerakan umat Kristen di Eropa yang memerangi
umat Muslim di Palestina secara berulang-ulang mulai abad ke-11 sampai abad
ke-13, dengan tujuan untuk merebut Tanah Suci dari kekuasaan kaum Muslim dan
mendirikan gereja dan kerajaan Latin di Timur. Dinamakan Perang Salib, karena
setiap orang Eropa yang ikut bertempur dalam peperangan memakai tanda salib
pada bahu, lencana dan panji-panji mereka.
Istilah ini juga digunakan untuk
ekspedisi-ekspedisi kecil yang terjadi selama abad ke-16 di wilayah di luar
Benua Eropa, biasanya terhadap kaum pagan dan kaum non-Kristiani untuk alasan
campuran; antara agama, ekonomi, dan politik. Skema penomoran tradisional atas
Perang Salib memasukkan 9 ekspedisi besar ke Tanah Suci selama Abad ke-11
sampai dengan Abad ke-13. “Perang Salib” lainnya yang tidak bernomor berlanjut
hingga Abad ke-16 dan berakhir ketika iklim politik dan agama di Eropa berubah
secara signifikan selama masa Renaissance.
Perang Salib pada hakikatnya bukan perang agama,
melainkan perang merebut kekuasaan daerah. Hal ini dibuktikan bahwa tentara
Salib dan tentara Muslim saling bertukar ilmu pengetahuan.
Perang Salib berpengaruh sangat luas terhadap
aspek-aspek politik, ekonomi dan sosial, yang mana beberapa bahkan masih
berpengaruh sampai masa kini. Karena konfilk internal antara kerajaan-kerajaan
Kristen dan kekuatan-kekuatan politik, beberapa ekspedisi Perang Salib (seperti
Perang Salib Keempat) bergeser dari tujuan semulanya dan berakhir dengan
dijarahnya kota-kota Kristen, termasuk ibukota Byzantium, Konstantinopel-kota
yang paling maju dan kaya di benua Eropa saat itu. Perang Salib Keenam adalah
perang salib pertama yang bertolak tanpa restu resmi dari gereja Katolik, dan
menjadi contoh preseden yang memperbolehkan penguasa lain untuk secara individu
menyerukan perang salib dalam ekspedisi berikutnya ke Tanah Suci. Konflik
internal antara kerajaan-kerajaan Muslim dan kekuatan-kekuatan politik pun
mengakibatkan persekutuan antara satu faksi melawan faksi lainnya seperti
persekutuan antara kekuatan Tentara Salib dengan Kesultanan Rum yang Muslim
dalam Perang Salib Kelima.
SITUASI DAN
LATAR BELAKANG
Situasi di Eropa
Asal mula ide perang salib adalah perkembangan yang
terjadi di Eropa Barat sebelumnya pada Abad Pertengahan, selain itu juga
menurunnya pengaruh Kekaisaran Byzantium di timur yang disebabkan oleh
gelombang baru serangan Muslim Turki. Pecahnya Kekaisaran Carolingian pada
akhir Abad Ke-9, dikombinasikan dengan stabilnya perbatasan Eropa sesudah
peng-Kristen-an bangsa-bangsa Viking, Slavia, dan Magyar, telah membuat kelas
petarung bersenjata yang energinya digunakan secara salah untuk bertengkar satu
sama lain dan meneror penduduk setempat. Gereja berusaha untuk menekan
kekerasan yang terjadi melalui gerakan-gerakan Pax Dei dan Treuga Dei. Usaha
ini dinilai berhasil, akan tetapi para ksatria yang berpengalaman selalu
mencari tempat untuk menyalurkan kekuatan mereka dan kesempatan untuk memperluas
daerah kekuasaan pun menjadi semakin tidak menarik. Pengecualiannya adalah saat
terjadi Reconquista di Spanyol dan Portugal, dimana pada saat itu
ksatria-ksatria dari Iberia dan pasukan lain dari beberapa tempat di Eropa
bertempur melawan pasukan Moor Islam, yang sebelumnya berhasil menyerang dan
menaklukan sebagian besar Semenanjung Iberia dalam kurun waktu 2 abad dan
menguasainya selama kurang lebih 7 abad.
Pada tahun 1063, Paus Alexander II memberikan restu
kepausan bagi kaum Kristen Iberia untuk memerangi kaum Muslim. Paus memberikan
baik restu kepausan standar maupun pengampunan bagi siapa saja yang terbunuh
dalam pertempuran tersebut. Maka, permintaan yang datang dari Kekaisaran
Byzantium yang sedang terancam oleh ekspansi kaum Muslim Seljuk, menjadi
perhatian semua orang di Eropa. Hal ini terjadi pada tahun 1074, dari Kaisar
Michael VII kepada Paus Gregorius VII dan sekali lagi pada tahun 1095, dari
Kaisar Alexius I Comnenus kepada Paus Urbanus II.
Perang Salib adalah sebuah gambaran dari dorongan
keagamaan yang intens yang merebak pada akhir abad ke-11 di masyarakat. Seorang
tentara Salib, sesudah memberikan sumpah sucinya, akan menerima sebuah salib
dari Paus atau wakilnya dan sejak saat itu akan dianggap sebagai “tentara
gereja”. Hal ini sebagian adalah karena adanya Kontroversi Investiture, yang
berlangsung mulai tahun 1075 dan masih berlangsung selama Perang Salib Pertama.
Karena kedua belah pihak yang terlibat dalam Kontroversi Investiture berusaha
untuk menarik pendapat publik, maka masyarakat menjadi terlibat secara pribadi
dalam pertentangan keagamaan yang dramatis. Hasilnya adalah kebangkitan
semangat Kristen dan ketertarikan publik pada masalah-masalah keagamaan. Hal
ini kemudian diperkuat oleh propaganda keagamaan tentang Perang untuk Keadilan
untuk mengambil kembali Tanah Suci – yang termasuk Yerusalem (dimana kematian,
kebangkitan dan pengangkatan Yesus ke Surga terjadi menurut ajaran Kristen) dan
Antiokhia (kota Kristen yang pertama) - dari orang Muslim. Selanjutnya,
“Penebusan Dosa” adalah faktor penentu dalam hal ini. Ini menjadi dorongan bagi
setiap orang yang merasa pernah berdosa untuk mencari cara menghindar dari
kutukan abadi di Neraka. Persoalan ini diperdebatkan dengan hangat oleh para
tentara salib tentang apa sebenarnya arti dari “penebusan dosa” itu.
Kebanyakan mereka percaya bahwa dengan merebut
Yerusalem kembali, mereka akan dijamin masuk surga pada saat mereka meninggal
dunia. Akan tetapi, kontroversi yang terjadi adalah apa sebenarnya yang
dijanjikan oleh paus yang berkuasa pada saat itu. Suatu teori menyatakan bahwa
jika seseorang gugur ketika bertempur untuk Yerusalemlah “penebusan dosa” itu
berlaku. Teori ini mendekati kepada apa yang diucapkan oleh Paus Urbanus II
dalam pidato-pidatonya. Ini berarti bahwa jika para tentara salib berhasil
merebut Yerusalem, maka orang-orang yang selamat dalam pertempuran tidak akan
diberikan “penebusan”. Teori yang lain menyebutkan bahwa jika seseorang telah
sampai ke Yerusalem, orang tersebut akan dibebaskan dari dosa-dosanya sebelum Perang
Salib. Oleh karena itu, orang tersebut akan tetap bisa masuk Neraka jika
melakukan dosa sesudah Perang Salib. Seluruh faktor inilah yang memberikan
dukungan masyarakat kepada Perang Salib Pertama dan kebangkitan keagamaan pada
abad ke-12.
Situasi Timur Tengah
Keberadaan Muslim di Tanah Suci harus dilihat sejak
penaklukan bangsa Arab terhadap Palestina dari tangan Kekaisaran Bizantium pada
abad ke-7. Hal ini sebenarnya tidak terlalu memengaruhi penziarahan ke
tempat-tempat suci kaum Kristiani atau keamanan dari biara-biara dan masyarakat
Kristen di Tanah Suci Kristen ini. Sementara itu, bangsa-bangsa di Eropa Barat
tidak terlalu perduli atas dikuasainya Yerusalem–yang berada jauh di
Timur–sampai ketika mereka sendiri mulai menghadapi invasi dari orang-orang
Islam dan bangsa-bangsa non-Kristen lainnya seperti bangsa Viking dan Magyar.
Akan tetapi, kekuatan bersenjata kaum Muslim Turki Saljuk yang berhasil
memberikan tekanan yang kuat kepada kekuasaan Kekaisaran Byzantium yang
beragama Kristen Ortodoks Timur.
Titik balik lain yang berpengaruh terhadap
pandangan Barat kepada Timur adalah ketika pada tahun 1009, kalifah Bani
Fatimiyah, Al-Hakim bi-Amr Allah memerintahkan penghancuran Gereja Makam Kudus
(Church of the Holy Sepulchre).[10] Penerusnya memperbolehkan Kekaisaran
Byzantium untuk membangun gereja itu kembali dan memperbolehkan para peziarah
untuk berziarah di tempat itu lagi. Akan tetapi, banyak laporan yang beredar di
Barat tentang kekejaman kaum Muslim terhadap para peziarah Kristen. Laporan yang
didapat dari para peziarah yang pulang ini kemudian memainkan peranan penting
dalam perkembangan Perang Salib pada akhir abad itu.
Penyebab langsung
Penyebab langsung dari Perang Salib Pertama adalah
permohonan Kaisar Alexius I kepada Paus Urbanus II untuk menolong Kekaisaran
Byzantium dan menahan laju invasi tentara Muslim ke dalam wilayah kekaisaran
tersebut.[11][12] Hal ini dilakukan karena sebelumnya pada tahun 1071,
Kekaisaran Byzantium telah dikalahkan oleh pasukan Seljuk yang dipimpin oleh
Sulthan Alp Arselan di Pertempuran Manzikert, yang hanya berkekuatan 15.000
prajurit, dalam peristiwa ini berhasil mengalahkan tentara Romawi yang
berjumlah 40.000 orang, terdiri dari tentara Romawi, Ghuz, al-Akraj, al-Hajr,
Perancis dan Armenia. Dan kekalahan ini berujung kepada dikuasainya hampir
seluruh wilayah Asia Kecil (Turki modern). Meskipun Pertentangan Timur-Barat
sedang berlangsung antara gereja Katolik Barat dengan gereja Ortodoks Timur,
Alexius I mengharapkan respon yang positif atas permohonannya. Bagaimanapun,
respon yang didapat amat besar dan hanya sedikit bermanfaat bagi Alexius I.
Paus menyeru bagi kekuatan invasi yang besar bukan saja untuk mempertahankan
Kekaisaran Byzantium, akan tetapi untuk merebut kembali Yerusalem, setelah
Dinasti Seljuk dapat merebut Baitul Maqdis pada tahun 1078 dari kekuasaan
dinasti Fatimiyah yang berkedudukan di Mesir. Umat Kristen merasa tidak lagi
bebas beribadah sejak Dinasti Seljuk menguasai Baitul Maqdis.
Ketika Perang Salib Pertama didengungkan pada 27
November 1095[13], para pangeran Kristen dari Iberia sedang bertempur untuk
keluar dari pegunungan Galicia dan Asturia, wilayah Basque dan Navarre, dengan
tingkat keberhasilan yang tinggi, selama seratus tahun. Kejatuhan bangsa Moor
Toledo kepada Kerajaan León pada tahun 1085 adalah kemenangan yang besar.
Ketidakbersatuan penguasa-penguasa Muslim merupakan faktor yang penting dan
kaum Kristen yang meninggalkan para wanitanya di garis belakang amat sulit
untuk dikalahkan. Mereka tidak mengenal hal lain selain bertempur. Mereka tidak
memiliki taman-taman atau perpustakaan untuk dipertahankan. Para ksatria
Kristen ini merasa bahwa mereka bertempur di lingkungan asing yang dipenuhi
oleh orang kafir sehingga mereka dapat berbuat dan merusak sekehendak hatinya.
Seluruh faktor ini kemudian akan dimainkan kembali di lapangan pertempuran di
Timur. Ahli sejarah Spanyol melihat bahwa Reconquista adalah kekuatan besar
dari karakter Castilia, dengan perasaan bahwa kebaikan yang tertinggi adalah
mati dalam pertempuran mempertahankan ke-Kristen-an suatu Negara.
PERANG
Perang Salib I
Pada musim semi tahun 1095 M, 150.000 orang Eropa,
sebagian besar bangsa Perancis dan Norman, berangkat menuju Konstantinopel,
kemudian ke Palestina. Tentara Salib yang dipimpin oleh Godfrey, Bohemond, dan
Raymond ini memperoleh kemenangan besar. Pada tanggal 18 Juni 1097 mereka
berhasil menaklukkan Nicea dan tahun 1098 M menguasai Raha (Edessa). Di sini
mereka mendirikan County Edessa dengan Baldwin sebagai raja. Pada tahun yang
sama mereka dapat menguasai Antiokhia dan mendirikan Kepangeranan Antiokhia di
Timur, Bohemond dilantik menjadi rajanya. Mereka juga berhasil menduduki Baitul
Maqdis (Yerusalem) pada 15 Juli 1099 M[15] dan mendirikan Kerajaan Yerusalem
dengan rajanya, Godfrey. Setelah penaklukan Baitul Maqdis itu, tentara Salib
melanjutkan ekspansinya. Mereka menguasai kota Akka (1104 M), Tripoli (1109 M)
dan kota Tyre (1124 M). Di Tripoli mereka mendirikan County Tripoli, rajanya
adalah Raymond.
Selanjutnya, Syeikh Imaduddin Zengi pada tahun 1144
M, penguasa Mosul dan Irak, berhasil menaklukkan kembali Aleppo, Hamimah, dan
Edessa. Namun ia wafat tahun 1146 M. Tugasnya dilanjutkan oleh puteranya,
Syeikh Nuruddin Zengi. Syeikh Nuruddin berhasil merebut kembali Antiokhia pada
tahun 1149 M dan pada tahun 1151 M, seluruh Edessa dapat direbut kembali.
Perang Salib II
Kejatuhan County Edessa ini menyebabkan orang-orang
Kristen mengobarkan Perang Salib kedua. Paus Eugenius III menyampaikan perang
suci yang disambut positif oleh raja Perancis Louis VII dan raja Jerman Conrad
II. Keduanya memimpin pasukan Salib untuk merebut wilayah Kristen di Syria.
Akan tetapi, gerak maju mereka dihambat oleh Syeikh Nuruddin Zengi. Mereka
tidak berhasil memasuki Damaskus. Louis VII dan Conrad II sendiri melarikan
diri pulang ke negerinya. Syeikh Nuruddin wafat tahun 1174 M. Pimpinan perang
kemudian dipegang oleh Sultan Shalahuddin al-Ayyubi yang berhasil mendirikan
dinasti Ayyubiyah di Mesir tahun 1175 M, setelah berhasil mencegah pasukan salib
untuk menguasai Mesir. Hasil peperangan Shalahuddin yang terbesar adalah
merebut kembali Yerusalem pada tahun 1187 M, setelah beberapa bulan sebelumnya
dalam Pertempuran Hittin, Shalahuddin berhasil mengalahkan pasukan gabungan
County Tripoli dan Kerajaan Yerusalaem melalui taktik penguasaan daerah. Dengan
demikian berakhirlah Kerajaan Latin di Yerussalem yang berlangsung selama 88
tahun berakhir. Sehabis Yerusalem, tinggal Tirus merupakan kota besar Kerajaan
Yerusalem yang tersisa. Tirus yang saat itu dipimpin oleh Conrad dari
Montferrat berhasil sukses dari pengepungan yang dilakukan Shalahuddin sebanyak
dua kali. Shalahuddin kemudian mundur dan menaklukan kota lain, seperti Arsuf
dan Jaffa.
Perang Salib III
Jatuhnya Yerussalem ke tangan kaum Muslim sangat
memukul perasaan Tentara Salib. Mereka pun menyusun rencana balasan.
Selanjutnya, Tentara Salib dipimpin oleh Frederick Barbarossa raja Jerman,
Richard si Hati Singa raja Inggris, dan Philip Augustus raja Perancis memunculkan
Perang Salib III. Pasukan ini bergerak pada tahun 1189 M dengan dua jalur
berbeda. Pasukan Richard dan Philip melalui jalur laut dan pasukan Barbarossa -
saat itu merupakan yang terbanyak di Eropa - melalui jalur darat, melewati
Konstantinopel. Namun, Barbarossa meninggal di daerah Cilicia karena tenggelam
di sungai, sehingga menyisakan Richard dan Philip. Sebelum menuju Tanah Suci,
Richard dan Philip sempat menguasai Siprus dan mendirikan Kerajaan Siprus.
Meskipun mendapat tantangan berat dari Shalahuddin, namun mereka berhasil
merebut Akka yang kemudian dijadikan ibu kota kerajaan Latin. Philip kemudian
balik ke Perancis untuk "menyelesaikan" masalah kekuasaan di Perancis
dan hanya tinggal Richard yang melanjutkan Perang Salib III. Richard tidak
mampu memasuki Palestina lebih jauh, meski bisa beberapa kali mengalahkan
Shalahuddin. Pada tanggal 2 Nopember 1192 M, dibuat perjanjian antara Tentara
Salib dengan Shalahuddin yang disebut dengan Shulh al-Ramlah. Dalam perjanjian
ini disebutkan bahwa orang-orang Kristen yang pergi berziarah ke Baitul Maqdis
tidak akan diganggu.
Perang Salib IV
Pada tahun 1219 M, meletus kembali peperangan yang
dikenal dengan Perang Salib periode keenam, dimana tentara Kristen dipimpin
oleh raja Jerman, Frederik II, mereka berusaha merebut Mesir lebih dahulu
sebelum ke Palestina, dengan harapan dapat bantuan dari orang-orang Kristen
Koptik. Dalam serangan tersebut, mereka berhasil menduduki Dimyath, raja Mesir
dari Dinasti Ayyubiyah waktu itu, al-Malik al-Kamil, membuat penjanjian dengan
Frederick. Isinya antara lain Frederick bersedia melepaskan Dimyath, sementara
al-Malik al-Kamil melepaskan Palestina, Frederick menjamin keamanan kaum
muslimin di sana, dan Frederick tidak mengirim bantuan kepada Kristen di Syria.
Dalam perkembangan berikutnya, Palestina dapat direbut kembali oleh kaum
muslimin tahun 1247 M, pada masa pemerintahan al-Malik al-Shalih, penguasa
Mesir selanjutnya.
Ketika Mesir dikuasai oleh Dinasti Mamalik yang
menggantikan posisi Dinasti Ayyubiyyah, pimpinan perang dipegang oleh Baibars,
Qalawun, dan Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah. Pada masa merekalah Akka dapat
direbut kembali oleh kaum Muslim tahun 1291 M. Demikianlah Perang Salib yang
berkobar di Timur. Perang ini tidak berhenti di Barat, di Spanyol, sampai umat
Islam terusir dari sana.
KONDISI
SESUDAH PERANG SALIB
Perang Salib Pertama melepaskan gelombang semangat
perasaan paling suci sendiri yang diekspresikan dengan pembantaian terhadap
orang-orang Yahudi yang menyertai pergerakan tentara Salib melintasi Eropa dan
juga perlakuan kasar terhadap pemeluk Kristen Ortodoks Timur. Kekerasan terhadap
Kristen Ortodoks ini berpuncak pada penjarahan kota Konstantinopel pada tahun
1024, dimana seluruh kekuatan tentara Salib ikut serta. Selama terjadinya
serangan-serangan terhadap orang Yahudi, pendeta lokal dan orang Kristen
berupaya melindungi orang Yahudi dari pasukan Salib yang melintas. Orang Yahudi
seringkali diberikan perlindungan di dalam gereja atau bangunan Kristen
lainnya, akan tetapi, massa yang beringas selalu menerobos masuk dan membunuh
mereka tanpa pandang bulu.
Pada abad ke-13, perang salib tidak pernah mencapai
tingkat kepopuleran yang tinggi di masyarakat. Sesudah kota Akka jatuh untuk
terakhir kalinya pada tahun 1291 dan sesudah penghancuran bangsa Ositania
(Perancis Selatan) yang berpaham Katarisme pada Perang Salib Albigensian, ide
perang salib mengalami kemerosotan nilai yang diakibatkan oleh pembenaran
lembaga Kepausan terhadap agresi politik dan wilayah yang terjadi di Katolik
Eropa.
Orde Ksatria Salib mempertahankan wilayah adalah
orde Ksatria Hospitaller. Sesudah kejatuhan Akka yang terakhir, orde ini
menguasai Pulau Rhodes dan pada abad ke-16 dibuang ke Malta. Tentara-tentara
Salib yang terakhir ini akhirnya dibubarkan oleh Napoleon Bonaparte pada tahun
1798.
[sunting]Peninggalan
Benua Eropa
Perang Salib selalu dikenang oleh bangsa-bangsa di
Eropa bagian Barat dimana pada masa Perang Salib merupakan negara-negara
Katolik Roma. Perang Salib juga menimbulkan kenangan pahit. Banyak pula
kritikan pedas terhadap Perang Salib di negara-negara Eropa Barat pada masa
Renaissance.
Politik dan Budaya.
Perang Salib amat memengaruhi Eropa pada Abad
Pertengahan. Pada masa itu, sebagian besar benua dipersatukan oleh kekuasaan
Kepausan, akan tetapi pada abad ke-14, perkembangan birokrasi yang terpusat
(dasar dari negara-bangsa modern) sedang pesat di Perancis, Inggris, Burgundi,
Portugal, Castilia dan Aragon. Hal ini sebagian didorong oleh dominasi gereja
pada masa awal perang salib.
Meski benua Eropa telah bersinggungan dengan budaya
Islam selama berabad-abad melalui hubungan antara Semenanjung Iberia dengan
Sisilia, banyak ilmu pengetahuan di bidang-bidang sains, pengobatan dan
arsitektur diserap dari dunia Islam ke dunia Barat selama masa perang salib.
Pengalaman militer perang salib juga memiliki
pengaruh di Eropa, seperti misalnya, kastil-kastil di Eropa mulai menggunakan
bahan dari batu-batuan yang tebal dan besar seperti yang dibuat di Timur, tidak
lagi menggunakan bahan kayu seperti sebelumnya. Sebagai tambahan, tentara Salib
dianggap sebagai pembawa budaya Eropa ke dunia, terutama Asia.
Bersama perdagangan, penemuan-penemuan dan
penciptaan-penciptaan sains baru mencapai timur atau barat. Kemajuan bangsa
Arab termasuk perkembangan aljabar, lensa dan lain lain mencapai barat dan
menambah laju perkembangan di universitas-universitas Eropa yang kemudian
mengarahkan kepada masa Renaissance pada abad-abad berikutnya.
Perdagangan
Kebutuhan untuk memuat, mengirimkan dan menyediakan
balatentara yang besar menumbuhkan perdagangan di seluruh Eropa. Jalan-jalan
yang sebagian besar tidak pernah digunakan sejak masa pendudukan Romawi,
terlihat mengalami peningkatan disebabkan oleh para pedagang yang berniat
mengembangkan usahanya. Ini bukan saja karena Perang Salib mempersiapkan Eropa
untuk bepergian akan tetapi lebih karena banyak orang ingin bepergian setelah
diperkenalkan dengan produk-produk dari timur. Hal ini juga membantu pada
masa-masa awal Renaissance di Itali, karena banyak negara-kota di Itali yang
sejak awal memiliki hubungan perdagangan yang penting dan menguntungkan dengan
negara-negara Salib, baik di Tanah Suci maupun kemudian di daerah-daerah bekas
Byzantium.
Pertumbuhan perdagangan membawa banyak barang ke
Eropa yang sebelumnya tidak mereka kenal atau amat jarang ditemukan dan sangat
mahal. Barang-barang ini termasuk berbagai macam rempah-rempah, gading,
batu-batu mulia, teknik pembuatan barang kaca yang maju, bentuk awal dari
mesiu, jeruk, apel, hasil-hasil tanaman Asia lainnya dan banyak lagi.
Keberhasilan untuk melestarikan Katolik Eropa,
bagaimanapun, tidak dapat mengabaikan kejatuhan Kekaisaran Kristen Byzantium,
yang sebagian besar diakibatkan oleh kekerasan tentara Salib pada Perang Salib
Keempat terhadap Kristen Orthodox Timur, terutama pembersihan yang dilakukan
oleh Enrico Dandolo yang terkenal, penguasa Venesia dan sponsor Perang Salib
Keempat. Tanah Byzantium adalah negara Kristen yang stabil sejak abad ke-4.
Sesudah tentara Salib mengambil alih Konstantinopel pada tahun 1204, Byzantium
tidak pernah lagi menjadi sebesar atau sekuat sebelumnya dan akhirnya jatuh
pada tahun 1453.
Melihat apa yang terjadi terhadap Byzantium, Perang
Salib lebih dapat digambarkan sebagai perlawanan Katolik Roma terhadap ekspansi
Islam, ketimbang perlawanan Kristen secara utuh terhadap ekspansi Islam. Di
lain pihak, Perang Salib Keempat dapat disebut sebuah anomali. Kita juga dapat
mengambil suatu kompromi atas kedua pendapat di atas, khususnya bahwa Perang
Salib adalah cara Katolik Roma utama dalam menyelamatkan Katolikisme, yaitu
tujuan yang utama adalah memerangi Islam dan tujuan yang kedua adalah mencoba
menyelamatkan ke-Kristen-an, dalam konteks inilah, Perang Salib Keempat dapat
dikatakan mengabaikan tujuan yang kedua untuk memperoleh bantuan logistik bagi
Dandolo untuk mencapai tujuan yang utama. Meski begitu, Perang Salib Keempat
ditentang oleh Paus pada saat itu dan secara umum dikenang sebagai suatu
kesalahan besar.
Dunia Islam
Perang salib memiliki efek yang buruk tetapi terlokalisir
pada dunia Islam. Dimana persamaan antara “Bangsa Frank” dengan “Tentara Salib”
meninggalkan bekas yang amat dalam. Muslim secara tradisional mengelu-elukan
Saladin, seorang ksatria Kurdi, sebagai pahlawan Perang Salib. Pada abad ke-21,
sebagian dunia Arab, seperti gerakan kemerdekaan Arab dan gerakan Pan-Islamisme
masih terus menyebut keterlibatan dunia Barat di Timur Tengah sebagai “perang
salib”. Perang Salib dianggap oleh dunia Islam sebagai pembantaian yang kejam
dan keji oleh kaum Kristen Eropa.
Konsekuensi yang secara jangka panjang
menghancurkan tentang perang salib, menurut ahli sejarah Peter Mansfield,
adalah pembentukan mental dunia Islam yang cenderung menarik diri. Menurut
Peter Mansfield, “Diserang dari berbagai arah, dunia Islam berpaling ke dirinya
sendiri. Ia menjadi sangat sensitive dan defensive……sikap yang tumbuh menjadi
semakin buruk seiring dengan perkembangan dunia, suatu proses dimana dunia
Islam merasa dikucilkan, terus berlanjut.”
Komunitas Yahudi
Terjadi kekerasan tentara Salib terhadap bangsa
Yahudi di kota-kota di Jerman dan Hongaria, belakangan juga terjadi di Perancis
dan Inggris, dan pembantaian Yahudi di Palestina dan Syria menjadi bagian yang
penting dalam sejarah Anti-Semit, meski tidak ada satu perang salib pun yang
pernah dikumandangkan melawan Yahudi. Serangan-serangan ini meninggalkan bekas
yang mendalam dan kesan yang buruk pada kedua belah pihak selama berabad-abad.
Kebencian kepada bangsa Yahudi meningkat. Posisi sosial bangsa Yahudi di Eropa
Barat semakin merosot dan pembatasan meningkat selama dan sesudah Perang Salib.
Hal ini memuluskan jalan bagi legalisasi Anti-Yahudi oleh Paus Innocentius III
dan membentuk titik balik bagi Anti-Semit abad pertengahan.
Periode perang salib diungkapkan dalam banyak
narasi Yahudi. Di antara narasi-narasi itu, yang terkenal adalah
catatan-catatan Solomon bar Simson dan Rabbi Eliezer bar Nathan, “The Narrative
of The Old Persecution” yang ditulis oleh Mainz Anonymus dan “Sefer Zekhirah”
dan “The Book of Remembrance” oleh Rabbi Ephrain dari Bonn.
Pegunungan Kaukasus
Orang Armenia merupakan pendukung setia Tentara
Salib. Di Pegunungan Kaukasus di Georgia, di dataran tinggi Khevsureti yang
terpencil, ada sebuah suku yang disebut Khevsurs yang dianggap merupakan
keturunan langsung dari sebuah kelompok tentara salib yang terpisah dari induk
pasukannya dan tetap dalam keadaan terisolasi dengan sebagian budaya perang
salib yang masih utuh. Memasuki abad ke-20, peninggalan dari baju perang,
persenjataan dan baju rantai masih digunakan dan terus diturunkan dalam
komunitas tersebut. Ahli ethnografi Rusia, Arnold Zisserman, yang menghabiskan
25 tahun (1842 – 1862) di pegunungan Kaukasus, percaya bahwa kelompok dari
dataran tinggi Georgia ini adalah keturunan dari tentara Salib yang terakhir
berdasarkan dari kebiasaan, bahasa, kesenian dan bukti-bukti yang lain.
Penjelajah Amerika Richard Halliburton melihat dan mencatat kebiasaan suku ini
pada tahun 1935.
sumber : wikipedia
0 komentar:
Post a Comment
Koementar yang tertinggal akan membuat web/blogmu semakin punya trafic tinggi