13/10/2010

Cecunguk Urban & Urbanisasi

KAUM URBAN DAN CECUNGUK KOTA
Oleh : anunkaseppasundan

Aku pernah datang ke kota ini lebih dari 20 tahun yang lalu, namun aku baru merasakan bahwa aku bisa tinggal hinggá beberapa waktu lama setelah 2 tahun ini. Bagiku Jakarta adalah garda terdepan dari bangsa ini untuk menampilkan diri di mata dunia bahwa indonesia punya kebanggan akan Ibukotanya. 

Jakarta adalah magnet terkuat yang menarik lebih dari sejuta mata untuk datang dan berharap akan sesuatu yang lebih baik. Jakarta seperti kota fenomena yang meng-sugesti setiap mata untuk turut serta hadir di dalamnya, Jakarta adalah ibarat emas yang menggunung yang menjajikan kekayaan dan sarat akan kekuasan, Jakarta adalah umpan terhebat bagi kaum urban yang berambisi meraih mimpi, Jakarta menjadi pemicu dari sekian puluh juta pasang mata untuk membuat sebuah rekayasa akan urbanisasi yang tidak di kehedanki. Dan semakin banyaknya dan tak terkedalinya akan urbanisasi ini menjadi corong gelembung bumerang akan reputasi sang gubernur untuk menata dan mengelola.

Namun semakin aku merasakan dimana aku tinggal, kenyaman dan kebangganku terhadap Ibukota semakin menipis walau kusadari bahwa sesungguhya aku bukanlah pednduduk asli atau bahkan lahir di Ibukota ini. Hilangnya kenyamanan akan kebangganku terhadap Jakarta dan setatusku sebagai kaum urban seolah kian menipiskan rasa semangatku untuk bisa merasakan sebagai perantau sejati seolah hilang tanpa kesan.

Kerakusan, ketamakan, dan kecokakan yang selama ini ada di benak para kaum borjuis yang mengekploitasi Jakarta, kini berbalik menjadi sebuah dilema yang tak berkesudahan, keindahan yang di gemborkan lewat pembangunan mall – mall besar, hotel – hotel berbintang dan gedung – gedung pencakar langit, dan pembangunan hutan kecil yang tak se-alami ternyata tak cukup menghilagkan panas dan berasapnya kota Jakarta, keadaan yang di buat sedemikian rupa hanya untuk mengejarkan keuntungan sesaat lewat pembangunan yang terus berlangsung tanpa memperhatikan kebutuhan bumi Jakarta itu sendiri akhirnya menjadi sebuah keniscayaan bahwa malapetaka akan kerusakan alam itu semakin nyata terasa, bajir, gempa, dan maraknya pendirian rumah – rumah kumuh, eksploitasi kemiskinan yang di tampilkan di jalanan semakin banyak, dan amblasnya beberapa daerah di sebagian Jakarta akibat erosi dan abrasi, hilangnya lahan resapan, dan karena kurangnya pengolaan sanitasi dan kurangnya perhatian akan keadaan air dan lingkungn di Jakarta semakin memperparah kedaan ini, tentunya keadaan ini menjadi rasa panik yang berlebihan bagi mereka kaum borjuis yang punya segudang kemewahan mall – mall besar, hotel berbintang dan gedung pencakar langit menjulang tinggi, dan kepanikan juga menyerang mereka para aparat birokrat seolah ketakutakan akan adanya kesan ketidak becusan dalam menjalankan dan megolala Jakarta semakin nampak.

Mata silih berganti memandangan gedung pencakar langit yang sulit didapatkan dari tempatnya berasal, dan hilir mudik kaum urban tak henti – henti membawa kisah antara manis dan pahit, cerita sukses beberapa pasang mata seolah menjadi pemicu kenapa mata yang lain ingin melirik untuk menyambangi, dan cerita pilu akan kerasnya kehidupan kota Jakarta menjadi anggapan seperti asap yang akan hilang dan berlalu. Padahal sesunggunya banyak kisah lebih pilu dan mengerikan dimana bisa saja yang kaya menjadi seorang pembunuh berdarah dingin ketika kemewahan yang dimikinya hilang dengan sekejap, karena di Jakarta ini banyak penjudi yang menggadaikan harga diri untuk mimpi yang belum pasti. dan di Ibukota ini menjadikan hal yang tak mungkin menjadi mungkin adalah hal yang lumrah, bagaimana tidak seorang gelandangan bisa menjadi seorang konglomerat jika ia mampu bertahan dan berusaha meraih mimpinya dengan kesabaran dan keuletan dalam bekerja, tinggal dimana posisi simiskin ini berusaha dan memilih apakah di jalan yang halal ataukah haram.

Aku sendiri memandangan bahwa Jakarta adalah etalase utama penyampai tentang bagaimana Indonesia di mata dunia, jika kesemrautan lebih besar maka tak lebih ia seperti kaca pecah yang tak terurus dan tikus kecoa seperti mall – mall, hotel berbintang dan gedung – gedung pencakar langit tinggi menjulang yang tak memperhatikan tata letak menjadi kotoran dalam keindahan sesaat, jika keadaan seperti ini terus dipelihara akan menjadi duri dalam daging dan cukup malukah dan  miriskah kita melihat bagaimana ketika mata dari negeri lain seolah sungkan untuk berinvestasi dan membeli, ”pikiran mereka jangankan ingin mampir, untuk melewati saja rasa – rasanya sungkan”. 

Jakarta akan menjadi kota yang percuma menjadi Ibukota saat keadaan yang semraut dan kemacetan merajalela dibiarkan tanpa ada solusi yang terbaik. Dan kesenjangan yang menguasai akan menjadi pamantik yang meledakan jumlah angka antara kehidupan simiskin dan sikaya. Dan budaya krinminalitas akan menjadi kultur yang tertecipta tanpa kesengajaan.

Bukan salah Jakarta sesunggunya tetapi kesalahan yang sesungguhnya adalah mata di dalamnya yang mengurus dan mengelola, Jakarta tetaplah indah baik dari nama dan ke Ibukotaannya, yang buruk adalah mata yang mengurus dan tak becus sehingga membuat kesan bahwa Jakarta adalah kota indah di atas kesemrautan yang menggila.  Mata – mata dari kaum urban akan terus berlangsung selama mata di dalamnya yang mengurus Jakarta tidak memberikan rekomendasi bagaimana dan dimana seharusnya para investor itu menanamakan modalnya, ke rakusan di benak para mata di dalamnya akan stigma bahwa Jakarta harus menjadi kota segala – galanya menjadi biang dimana adanya kaum urban itu terus bertambah. Jika sudah seperti itu siapakah yang salah kaum urban ataukah mata pengelola Jakarta?”” heum....


By : daripenulisuntukberbagi...

0 komentar:

Post a Comment

Koementar yang tertinggal akan membuat web/blogmu semakin punya trafic tinggi