18/07/2012

Refleksi Demokrasi


REFLEKSI DEMOKRASI 
Oleh | Tubagus Arif Aditiya
Hampir 10 tahun semenjak reformasi dijadikan alternatif terakhir untuk menamatkan "birokrasi aristokrat" Orde Baru yang mengakar selama 32 tahun. Pada saat itu, ribuan masyarakat dari berbagai elemen bersatu membentuk barisan ideologis dengan satu tujuan : perubahan.

Waktu itu, tahun 1998, ibu saya pernah bilang bahwa mungkin pasca reformasi negara kita akan lebih menghargai demokrasi. saya baru duduk di kelas 3 SMP dan lebih tertarik untuk mengetahui pemenang Final piala dunia '98. Demokrasi bahkan terasa asing di telinga.

SMA, baru saya dikenalkan pada demokrasi, sebuah paham "tengah-tengah" antara Diktatorisme dan Liberalisme, paham yang menyatakan kekuasaan berada di tangan rakyat. dan Amerika sebagai negara yang memperkenalkannya. Namun memang tidak ada satu sumber pun-yang pernah saya baca- yang menggambarkan formula bernegara ala demokrasi yang standar. sehingga, mungkin, setiap negara berdemokrasi dengan interprestasi sendiri. 

Oke, reformasi telah melahirkan 4 Presiden (Habibie, Gus Dur, Megawati dan SBY) dalam jangka waktu 10 tahun. mungkin ini manifestasi demokrasi yang real,..no problems, masih bisa diterima, seperti layaknya klub sepakbola yang bisa gonta-ganti pelatih ketika tim nya tidak kunjung sukses. 
Pemilu diikuti oleh lebih dari 40 partai??
Oh ya, kita bukan ORBA kan? yang hanya mengenal 3 partai dan pemenangnya itu-itu juga...
sistem multipartai boleh lah sebagai manifestasi lain dari demokrasi..
Selain itu bergesernya kekuasaan eksekutif ke legislatif pun menunjukan ada di tangan siapa kekuasaan itu sebenarnya..

Tapi ada hal yang agak membuat saya mengerutkan kening...

Apakah demokrasi berarti melegalkan aksi anarkisme?

Semenjak tumbangnya rezim ORBA, para aktivis yang selama ini bungkam tiba-tiba mendapatkan angin untuk bersuara dan berekspresi, hal itu wajar adanya, karena itu merupakan cermin demokrasi berjalan.., tapi ada perbedaan bukan antara "kebebasan" dengan "kebablasan"

untuk mendukung pendapat saya, coba kita nyalakan tv dan lihat setiap harinya ada berapa Demo yang berakhir ricuh, tampaknya demo jika tidak ricuh maka bukan demo...
terutama mahasiswa, saya merindukan saat-saat mahasiswa berani berdialog dalam kerangka ilmiah dan bersuara dengan tujuan membangun, 
saya tak bisa membedakan antara preman dengan mahasiswa saat ini, demonstrasi yang diselingi kericuhan, perkelahian dan segala macam kekerasan kerap terjadi dan sayangnya dilakukan oleh barisan ber-almamater yang seharusnya menjadi role model bagi masyarakat, dan seringkali demonstrasi itu tidak didasari pengetahuan akan objek yang akan ditentang...

namun mungkin itulah demokrasi bagi mahasiswa, berani bersuara, tanpa fakta dan berakhir ricuh, lalu apa selanjutnya?
idealisme yang cerdas sudah menjadi barang langka...padahal banyak jalan menuju perubahan. toh buktinya aksi anarkisme itu tidak berdampak apapun, kecuali pandangan negatif dari masyarakat.

Ini merupakan pemahaman prematur yang akhirnya merekonstruksi keadaan sosial, tampaknya setiap hal bisa dijadikan bahan demonstrasi, bahkan hal-hal yang sesungguhnya tidak esensial.

Lucu jika melihat kondisi itu, tapi inilah potret demokrasi di Indonesia yang diterjemahkan secara mentah..

Dalam sebuah forum diskusi, saya pernah mengatakan bahwa reformasi merupakan sebuah rekaya sosial untuk mencapai status quo. Saya mencontohkan begini. "reformasi berarti demokrasi, demokrasi berarti demonstrasi, demonstrasi berakibat meningkatnya eskalasi politik dan berujung pada penerapan status darurat, militer mengambil alih dan kita kembali dipimpin rezim"

Setidaknya ada yang berubah biarpun destruktif..
Setuju???

Heart Note

HEART NOTE
Oleh | Tubagus Arif Aditiya

Bagaimana rasanya jika kita lebih sering kehilangan sesuatu daripada mendapatkan sesuatu? kadang keputusan seseorang mampu merubah hidup seseorang seumur hidupnya, namun ketika penyesalan itu hanya berbuah kesia-siaan maka yang terjadi justru adalah bentuk penerimaan yang dipaksakan terhadap realitas. ketika hidup harus terus tumbuh tanpa bimibingan, maka kita kehilangan Tuhan, namun bagaimana jika itulah realitas yang terjadi? 
I have no distance left to Run... 

Revolution

REVOLUTION
oleh | Tubagus Arif Aditya

Democracy was just the way to keep people in confusing situation and protect status Quo..
he have no option instead follow the rule of game which has been made by people who think they are the survivor..
------------ the rule to make us keep stupid and put bullet in our head---------------

12/07/2012

Kedelai & Keledai

Miris sekali rasanya di negeri yang begitu subur dengan ke anekaragaman hasil pangan, lagi-lagi Indonesia harus malu menjadi negara  penerima inpor kedelai dari negara sekaliber Amerika, sebuah fakta yang ironi di tengah kehidupan rakyat Indonesia yang terkenal sebagai negeri pangan dunia karena program dan keadaan alam yang mendukung sebagai negeri panggilan penghasil pertanian asia terbesar, dekade era orde baru Indonesia di sebut sebagai negara Macan Asia yang berkonotasi lebih kepada hal sandang pangan, di mana Indonesia mampu beswasembada beras yang mampu mengangkat harkat dan martabat bangsa ini menuju puncak ke masyuran. Menilik ke masa-masa orde baru, Indonesia mampu menjadi negara yang tak pernah kekurangan dalam masalah hasil pertanian, pernahkah kita sesering mungkin di era di mana orde baru berkuasa Indonesia kekurangan stok pangan ???

Indonesia yang kaya akan slogan sebagai negara subur kini menjadi negara ironi di antara yang tak pasti, ironi sebagai negara makmur yang sering di elu-elukan sebagai negara kaya hasil bumi namun tak pasti hasilnya seperti apa dan bagaimana, karena kenyataanya kita menghamba kedelai kepada negara superpower dan sekaliber Amerika yang lebih terkenal sebagai slogan negara imprealis dan negara multiras dalam hal budaya dan negara ekonomi paling maju dalam hal slogan sebagai negara finansial modern, namun semua itu berbalik, sebuah negara yang lebih terkenal ke arah yang jauh 180 derajat berbeda dengan negara kita Indonesia yang nyata-nyata dan ramai-ramai di berita Indonesia sebagai negara penghasil pangan pertanian, sesuatu yang tak dapat di percaya bahwa kita menghambakan pangan kita di bawah kaki mereka (Amerika), apakah anda percaya lebih dari separuh hasil pertanian kedelai kita di peroleh atau di inpor dari negara Amerika, sesuatu yang mustahil untuk kita percayai dan jarang kita mendengar sebuah negara adidaya memproduksi kedelai, rupanya Amerika bukan saja menjadi negara hebat dalam hal ekonomi, budaya, persenjataan, teknologi, namun kini Amerika terkenal juga sebagai negara penghasil kedelai yang rata-rata lebih tersohor bahwa kedelai adalah hasil bumi hanya berada dan di tanam dan berada di wilayah bersuhu tropis di seperti seperti Indonesia, Amerika kini menjadi negara baru dalam dunia imprealisme kedelai dan kita lagi-lagi menjadi sebuah negara yang penuh dengan julukan dan keadaan yang alam yang mendukung namun tak mampu menggunakan semua kemampuan yang ada untuk di gunakan semestinya. 

Hanya manusia-manusia bodoh yang mempunyai lahan pertanian yang begitu kaya dan terkenal sebagai negeri sandang pangan namun tak mampu menjadikan kesempatan dan kebanggaan yang dimiliki untuk benar-benar di buktikan bahwa apa yang di miliki cukup untuk menjamin akan sebuah kata tentang ketersedian dan kesejahteraan bagi pemilikynya dan rakyatnya, sebuah fakta ironi antara kita dan Amerika, Amerika sebagai negara yang terkenal ke arah yang berlawanan nyata-nyatanya, ternyata kita (Indonesia) yang terkenal sebagai negara negerinya petani, ternyata kita penghamba kedelai dari negeri paman sam nan jauh di ujung sebrang, kapan-kah kita belajar menyadari bahwa apa yang menjadi sebutan dan sanjuangan kepada Indonesia sebagai negara pangan bisa sesuai dengan trademark-nya Indonesia, dan belajar mengenal akan slogan yang sering menjadi brand dalam tren tatanan sosial media kita, segera-lah kita mengambil langkah besar dengan membuktikan kembali bahwa Indonesia layak dan sangat layak menjadi negara dengan sebutan sebagai negara penghasil pangan pertanian tersebut, bukan dengan membiarkan diri seperti keledai yang harus beberapa kali merasakan pembodohan terhadap dirinya sendiri.

Pemerintah dalam hal ini birokrasi juga berperan penting akan nasib para petani, selain cukong dan tengkulak yang sewenang-wenang menaik-turunkan harga, memonopoli harga tanpa mengindahkan akan kebutuhan para petani kedelai dan produsen hasil olahan dari kedelai, mereka para cukong dan tengkulak lebih berorientasi mencari keuntungan sebesar-besarnya dengan memanfaatkan hasil bumi sejenis kedelai untuk hasil olahan yang bersifat sekuder. Bagi kalangan petani dan rakyat kecil lainnya, para cukong, tengkulak dan antek perorientasi keuntungan ini lebih nyaman bertransaksi dengan mereka pemilik pabrik kecap dan hasil olahan lainnya di luar Tempe sebagai jajanan dan kebutuhan lauk pauk rakyat kecil dimana tempe menjadi kebutuhan primer, "mereka" para perorientasi keuntungan lebih mengkompromikan kelas menengah sebagai penikmat hasil pabrikan bukan memprioritaskan rakyat penikmat pabrikan kecil sperti Tempe yang menjadi kebutuhan primer bagi rakyat kecil. Sadar atau tidak, para perorientasi keuntungan ini mengabaikan hak-hak dasar akan kebutuhan manusia Indonesia lainnya yang mempunya status sosial sebagai konsumen dan pecandu Tempe, sepelik apapun berbicara masalah keuntungan sesungguhnya kita tahu penikmat dan peminat Tempe bukanlah kalangan kelas bawah saja, tetapi di luar itu semua, kita dan bangsa Indonesia di berbagai penjuru tanah air mulai dari seorang Presiden, Menteri, Akandemisi, dan Profesionlis mengatakan bahwa sesungguhnya Tempe adalah kebutuhan yang sesekali wajib di konsumsi bagi mereka yang tak pernah atau jarang sekali mencicipi, tidak perlu di ragukan tantang masalah gizi yang ada pada Tempe, dari rekomendasi sang yang sudah di sebutkan tadi, dari tahun-ketahun pun jelas, Tempe bukanlah makanan asing dan sembarangan, selain gizi yang terkandung di dalamnya, dalam rekatan kedelai yang terbungkus dan membentuk serta manghasilkan rasa, ada benih-benih perjuangan para petani kita yang tetap dengan gigih sekuat tenaga membudayakan Tempe sebagai budaya asli hasil bagian dari olahan pangan Indonesia dan merupakan bagian dari sekedar peneman makan di meja.

Hanya manusia Keledai yang mempermainkan harga kedelai dan menghambakan kedelai kepada Negara Amerika yang jauh sangat bertolak belakang dengan slogannya sebagai negara imprealis, sesuatu yang memalukan dan mungkin bagi kalangan awam di pedesaan bahwa ternyata separuh kedelai kita hasil inpor dari Amerika.

Ketika sebuah negara imprealis Amerika mengalami musim panas kita menjadi gusar, cemas dan gelisah di buatnya karena kita mengantukan separuh pasokan Tempe kepada negara yang bertolak belakang, kita menjadi khawatir dan teriak-teriak dimana-mna ketika separoh pasokan Tempe tersendat karena sang adikuasa sibuk dengan politik perangnya, akan-kah kita tetap menjadi negara yang mengharapkan pasokan segala-galanya dari Amerika selain persenjataan, dan ekonomi ??

HARAPAN AKAN KEDELAI
Semoga esok kelak negeri ini tidak sampai parah mengharapkan pasokan yang sudah menjadi hasil dari kedelai tersebut seperti Tempe, Oncom, dan Tahu yang menjadi ciri khas dan urat nadi terakhir masyarakat Indonesia. Semoga pula Kementerian Pertanian, Perdagangan, UKM dan Bulog serta lembaga lainnya menjadi jembatan bagi petani Indonesia untuk bisa berkembang menjadi lebih baik bukan dengan terus beretorika dan membatah akan kegagalannya menjadi pengayom petani, semoga pula Kementerian dan lembaga tersebut menjadi pembantu ikhlas untuk membantu para petani kita di masa paceklik kedelai ini, untuk benar-benar sementara waktu walaupun jangka pendek, memberi jalan terbaik bagi petani kedelai dan produsen Tempe agar tetap bertahan dalam segala keadaan terlebih di saat sekarang ini dimana kita kekurangan jumlah produksi Kedelai sebagai bahan dasar adanya Tempe dan hasil sejenis lainnya, data dari beberapa sumber yang di peroleh setelah di tahun 2010 produksi kedelai kita lebih menurun di tahun 2012 ini, harapan kedepan Kementerian dan Lembaga yang mengurusi masalah logistic dan hasil pertanian, dan oknum-oknum di bawahnya yang tidak bertanggung hawab tidak menjadi cukong yang memonopili harga sedmikian rupa demi keuntungan sesaat, dan kepada Presiden pula akhirnya opini ini di alamatkan semoga kiranya pemimpin kita mampu memberi gebrakan yang berarti membuat inovasi dengan memerintahkan Kementerian dan Lembaga-lembaga di bawahnya, khususnya yang mengurusi persoalan pangan hasil pertanian yang menjadi nyawa bagi harapan bagi sebagian masyarakat Indonesia agar sesegera mungkin membuat terobosan maha penuh karya dalam hal pertanian untuk melawan dominasi Amerika di segala aspek perekonomian khususnya stok kebutuhan petanian dan produsen kecil Indonesia untuk sesegera mungkin mengakhirinya dengan swasembada kedelai di tahun-tahun mendatang dan tidak menjadi keledai karena masalah kedelai yang harus menelan pil pahit untuk kesekian kalinya dengan masalah pasokan setalah kasus inpor beras dari Vietnam dan thailand, jika kita tetap berharap dan bergantung pada Amerika apakah kita sanggup kelak suatu masa bukan saja kedelai tapi hasil dari kedelai seperti Tempe, Oncom, dan Tahu dan produk masyarakat yang di hasilkan dair olahan kedelai dan sejenisnya di pasok dari Amerika juga, semoga saja tidak.